Friday, July 8, 2011

Hubungan Usia dengan Faktor Perkawinan

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hubungan Usia dan Faktor Fisiologis

Dalam Bab II pasal 7 ayat ( 1 ) Undang – Undang Perkawiann denag jelas dinyatakan bahwa umur sebagai salah satu syarat yang perlu dipenuhi bila seseorang akan melakukan perkawinan. Dengan demikian akan jelas bahwa umur mempunyai peranan dalam perkawinan. Adapun kaitannya denagn faktor fisiologis, umur juga mempunyai hubungan erat karenan dengan keadaan fisik yang sehat dan matang maka sangat berpengaruh terhadap kematangan seseorang dalam memproduksi keturunannya.
Namun umur dalam hubungannya dengan perkawinan tidaklah cukup dikaitkan dengan segi fisiologik semata, tetapi juga perlu dikaitkan dengan segi psikologik dan segi sosial, karena dalam perkawinan hal – hal tersebut tidak dapat ditinggalkan , tetapi ikut berperan. Dalam undang – undang dengan tegas dinyatakan bahwa dalam perkawinan pria harus sudah berusia 19 tahun sedangkan wanita sudah harus berumus 16 tahun, kurang dari itu harus ada dispensasi.
Umur diatsa bila dilihat dari segi fisiologik, seseorang umumnya sudah masak, ini berarti bahwa pada umur tersebut pasangan itu telah dapat membuahkan keturunan, karena dari segi biologik – fisiologik alat – alat untuk memproduksi keturunan telah dapat menjalankan fungsinya. Tanda bahwa alat mereproduksi keturunan telah berfungsi, pada wanita ditandai denagn menarche yaitu haid yang pertama kali, sedangkan pada pria ditandai datangnya polutio yaitu keluarnya air mani pada waktu tidur yang sering disebut dengan mimpi indah. Bila anak wanita telah haid dan pada anak pria telah mengalami polutio, maka secara fisiologik mereka telah masak, dan bila nereka mengadakan hubungan seksual, kemungkinan untuk mengandung atau hamil dapat terjadi.
Dengan demikian bila anak wanita umur 16 tahun dan pria 19 tahun kawin, maka pasangan tersebut telah dapat menghasilkan keturunan, kalau tidak ada faktor – faktor yang menghambatnya. Dengan demikian sekali lagi dapat ditekankan bahwa umur tersebut lebih menitik beratkan pada segi fifiologik.

2.2. Hubungan Usia dan Faktor Psikologis

Pada bagian depan telah dikemukakan bahwa umur selain mempunyai kaitan dengan keadaan fisiologik, umur juga mempunyai kaitan dengan keadaan psikologik seseorang. Dilihat dari segi psikologi sebenarnya pada anak wanita berumur 16 tahun, belumlah dapat dikatakan bahwa anak tersebut telah dewasa secara psikologiknya. Demikian pula pada anak pria berumur 19 tahun, belum dapat dikatakan bahwa mereka sudah masak secara psikologik. Pada umur 16 tahun maupun 19 tahun pada umumnya masih digolongkan pada umur remaja atau adolesensi ( Hurlock, 1959 ). Bagaimana keadaaan psikologik pada masa adolesensi atau remaja akan lain dengan masa dewasa. Karena itulah seperti telah dipaparkan di muka bahwa batas usia yang merupakan batas bawah yang terkandung dalam Undang – Undang Perkawinan itu ditinjau dari segi psikologik memang kurang sesuai.
Dari segi psikologi perkembangan, dengan makin bertambah umur seseorang, diharapkan akan lebih masak lagi psikologiknya. Anak akan mempunyai keadaan psikologik yang berbeda dengan remaja, demikian pula remaja akan mempunyai keadaan psikologik yang lain denagn orang dewasa, dan juga berbeda dengan keadaan orang yang telah lanjut usia. Perkawinan pada umur yang masih muda akan banyak mengundang masalah yang tidak diharapkan, karena segi psikologiknya belum matang. Tida jarang pasangan yang mengalami keruntuhan dalam rumah tangganya karena perkawinan yang msih muda. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan seorang ibu sebagai klien mempunyai keluhan atau masalah bahwa suaminya mempunyai hubungan dengan wanita lain. Ibu tadi berumur sekitar 23 tahun dan telah kawin selama 5 tahun dan telah mempunyai 2 orang anak, masing – masing berumur 4 tahun dan 1 tahun. Suami ibu tersebut berumur kurang lebih 25 tahun.
Dari keadaan tersebut diatas salah satu segi yang dapat dikemukakan bahwa pada waktu perkawinan umur ibu tersebut kurang lebih 18 tahun dan suaminya berumur 20 tahun. Dapat dikatakan bahwa pasangan tersebut memang masih relatif muda pada waktu kawin, walaupun sudah memenuhi ketentuan yang termaktub dalam Undang – Undang Perkawinan. Salah satu sebab kurang adanya harmonisasi dalam keluarga itu, dapat bertitik tolak pada umur yang relatif masih muda ini , sehingga dengan bertambahnya umur suami cakrawalanya makin bertambah luas dan ini dapat mengakibatkan keadaan yang cukup runyam seperti tersebut di atas. Berhubungan dengan hal tersebut maka dalam perkawinan kemasakan atau kematangan psikologik perlu mendapatkan pertimbangan yang mendalam.

2.3. Hubungan Usia dan Kematangan Sosial

Selain dri segi fisiologik dan psikologiknya, dalam perkawinan juaga perlu memperhatikan segi sosialnya, khususnya sosial – ekonomik. Kematnag sosial – ekonomik pada umumnya juga berkaitan erat dengan umur individu. Makin bertambah umur seseorang, kemungkinan untuk kematangan dalam bidang sosial – ekonomik juga akan makin nyata. Pada umumnya denagn bertambahnya umur seseorang akan makin kuatlah dorongan untuk mencari nafkah sebagai menopang kehidupan. Karena itu dalam hal perkawinan masalah kematanagn ekonomik perlu juga mendapatkan pemikiran, sekalipun dalam batas yang minimal.
Seseorang yang telah berani membentuk keluarga melalui perkawianan, segala tanggung jawab dalam hal menghidupi kelurga itu terletak pada pasangan tersebut bukan pada oreang lain, termasuk orang tua. Karena itulah maka dalam perkawinan masalah kematangan sosial – ekonomik perlu dipertimbangkan secara matang karena ini akan berperan sebagai penyangga dalam kehidupan keluarga yang bersangkutan. Anak yang masih muda, misalnya pada umur 19 tahun pada umumnya belum mempunyai sumber penghasilan atau penghidupan sendiri. Kalau pada umur yang demikian muda telah melangsungkan perkawianan, maka dapat diperkirakan bahwa kesulitan – kesulitan yang berkaitan denagn sosial – ekonomik akan segera muncul, yang dapat membawa akibat yang cukup rumit.

2.4. Usia Ideal dalam Perkawinan

Seperti telah dipaparkan di muka dalm Undang – Undang Perkawinan hanya tercantum batas umur yang paling rendah, batas bawah seseorang boleh melangsungkan perkawianan, sedangkan batas atas tentang umur itu tidak dikemukakan dalam Undang – Undang tersebut. Dalam hal umur dikaitkan dengan perkawinan, memang tidak adanya ukuran yang pasti, artinya bahwa umur sekian itu yang paling baik. Kalau sekiranya itu ada, hanyalah merupakan patokan yang tidak bersifat mutlak, karena hal tersebut bersifat subyektif, masing – masing individu mungkin mempunyai ukuran sendiri – sendiri. Namun demikian, untuk memberikan jawaban persoalan umur berapakan merupakan umur yang ideal, dapat dikemukakan beberapa hal sebagai bahan pertimbangan, yaitu :
1)      Kematangan fisiologik atau kejasmanian
Untuk melakukan tugas sebagai akibat perkawianan dibutuhkan keadaan jasmani yang cukup matang, cukup sehat. Pada umur 16 tahun pada wanita dan 19 tahun pada pria kematangan ini telah tercapai.
2)      Kematangn psikologik
Dalam perkawinan dibutuhkan kematangan psikologik karena dalam perkawinan biasanya banyak hal yang timbul dan membutuhkan pemecahannya dari segi kematangan psikologik ini. Sehingga diharapkan adanya kebijaksanaan dalam keluarga. Kematangan ini pada umumnya dapat dicapai setelah umur 21 tahun.
3)      Kematnag sosial, khususnya sosial – ekonomik
Kematangan sosial, khususnya sosial – ekonomik diperlukan dalam perkawinan, karena hal ini merupakan penyangga dalam memutar roda keluarga sebagai akibat perkawinan.
4)      Tinjauan masa depan atau jangkauan ke depan
Adanya perencanaan pada masa yang akan datang, karena pada dasarnya dengan adanya perkawinan menghendaki adanya keturunan yang dapat melangsungkan keturunan keluarga itu. Orang tua tidak menghendaki bahwa pada waktu orang tua telah jompo, anak – anaknya masih menjadi beban orang tua. Oleh karena itu pandangan ke depan perlu dipertimbangkan dalam perkawinan.
5)      Perbedaan perkembangn antara pria dan wanita
Seperti diketahui bahwa perkembangan antara wanita dan pria tidaklah sama, artinya kematangan pada wanita tidak akan sama jatuh waktunya denagn pria. Seorang wanita yang umurnya sama dengan seorang pria, tidak berarti bahwa kematangan segi psikologiknya juga sama. Sesuai denagn segi perkembangannya, pada umumnya wanita lebih dahulu mencapai kematanagn dari pada pria. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa untuk melangsungkan perkawinan pada wanita sekitar 23 – 24 tahun sedangkan pria pada usia sekitar 26 – 27 tahun. Karena pada umur – umur tersebut pada umumnya telah dicapai kematanagn kejasmanian, psikologik dan dalam keadaan normal pria yang berumur sekitar 26 – 27 tahun telah mempunyai sumber penghasilan untuk menghidupi keluarga sebagai akibat perkawianan tersebut.

2.5. Perbedaan Usia Suami dengan Isteri
Perbedaan umur antara suami dan isteri adalah suatu kejadian yang wajar namun sebaliknya persamaan umur antara suami dan isteripun merupakan keadaan yang dapat dijumpai pula. Namun dalam perbedaan umur anatara suami dan isteri disarankan suami sebaiknya lebih tua dari isteri, dan perbedaan antara suami dan isteri jangan sampai terlalu jauh. Dengan demikian suami akan dapat membimbing isterinya penuh dengan pengertian untuk menuju ke arah tujuan yang dicita – citakan dlam perkawinan tersebut.
Bila kita perhatikan dari segi psikologi kedewasaan antara laki - laki dengan perempuan, maka perempuan akan lebih awal pencapaian kematangan kedewasaannya secara umum. Sehingga, bila laki - laki lebih tua dari calon istrinya akan terjadi kesamaan kedewasaan. Terbukti ketika perempuan memasuki lingkungan pernikahan, ia akan segera pandai menempatkan dirinya dengan semestinya di dalam kehidupan rumah tangga. Sang istri lebih cekatan, lebih cag-ceg, dan tahu secara sasmita bagaimana ia memosisikan diri. Hal ini diperkuat dengan keadaan dalam rumah tangga bila sang istri sedang sakit, maka rumah tangga tersebut layaknya bagai kapal pecah. Tetapi, kalau suami yang sakit, rumah tangga terus berjalan sebagaimana mestinya.
Bila kita cermati dari segi ekonomi, mengapa idealnya sang suami lebih tua agar sang lakilaki lebih dahulu merintis karier dan memiliki jalan kehidupan yang baik. Ia memiliki sumber nafkah yang pasti sehingga kelak ketika lakilaki siap memasuki pernikahan maka sang suami sudah siap dalam menafkahi istri dan anak-anaknya. Jika lebih muda atau sebaya, maka suami dan istri akan berangkat dari garis yang sama sehingga tidak menutup kemungkinan rumah tanggaya akan ditopang oleh keluarga besarnya untuk beberapa tahun ke depan. Iya kalau suami cepat mendapatkan sumber hidup yang pasti, kalau tidak maka suami akan ditopang hidupnya oleh istri. Istri akan berprofesi sebagai wanita kerier dan suami hanya sebagai suami rumahan; ngurusi rumah dan merawat anak-anak.
Bila dilihat dari segi biologis, hasrat lakilaki itu tak ada matinya biarpun usianya udah kepala 6, 7, atau 8 sekalipun. Sementara apakah sang istri akan masih mampu melayani hasrat biologis sang suami? Maka, di sinilah biasanya ketika pernikahan berjalan setengah jalan dan usia melewati kepala 4 sementara istri sudah tidak begitu berhasrat, entah karena  bosan atau capek membesarkan dan mengurusi anak-anak, hubungan biologis suami istri menemui beberapa kendala. Akibatnya sang suami mencoba melirik-lirik ke yang lain, ke yang lebih muda - yang masih fresh.
Karena hubungan biologis yang tidak lagi seharmonis ketika masih muda, maka kita kerap mendapati lakilaki (suami) berani untuk menikah lagi ketika usia menjalani atau melewati angka 4.  Sang suami akan berterus terang kepada istri untuk minta izin menikah  lagi. Bila istri mengizinkan, maka sang istri akan dimadu. Bila istri tak mengizinkan, sang suami akan sembunyi-sembunyi menikah siri. Atau, lebih celaka, terjadilah badai perceraian dengan 1001 alasan yang ujung-ujungnya istri dan anak-anak menjadi korban.
SURVEI yang dilakukan CHIC terhadap 50 pria berusia 25 sampai 35 tahun menunjukkan, 65 persen pria memilih perempuan yang berusia 5 tahun lebih muda untuk dijadikan pasangan. Sementara itu, sebanyak 25 persen pria memilih perempuan berusia 2-3 tahun lebih muda sebagai pasangan. Sisanya, memilih perempuan seumur dan 10 tahun lebih muda.
Apa yang menjadi alasan mereka? Para pria yang memilih pasangan lebih muda lima tahun memberikan tiga alasan atas pilihan mereka, yaitu:
1.      Kedewasaan
Sebagian pria ini menganggap pertumbuhan psikologis perempuan lebih cepat tiga tahun sehingga mereka cenderung memilih pasangan yang berusia lima tahun lebih muda. Para pria berharap dengan usia yang lebih tua lima tahun, mereka bisa menjadi sosok yang lebih dewasa daripada pasangannya, baik dalam cara berpikir maupun tingkah laku. Dengan begitu, mereka bisa mengayomi pasangannya dan menjadi sosok yang dapat diandalkan.
2.      Lebih Mapan
Finansial menjadi faktor penting yang jadi perhatian para pria. Faktor inilah yang terkadang jadi penyebab keengganan mereka berkomitmen. Mereka menganggap usia yang jauh lebih tua membuat karier mereka telah berada di posisi lebih mapan dibandingkan dengan pasangannya. Asumsinya, jika mereka telah merintis karier, pasangannya baru mulai menapaki dunia karier.
3.      Tidak Egois
Perbedaan usia yang tidak terlalu dekat membuat pria bisa bersikap lebih bijaksana. Tak lagi hanya mementingkan ego semata, tetapi lebih mengandalkan kompromi dan pikiran dingin dalam menyelesaikan setiap masalah. Para pria ini menganggap perbedaan usia lima tahun membuat mereka bisa jadi pendengar yang baik dan bersikap responsif atas keinginan pasangan.

Sementara itu, pria yang memilih pasangan lebih muda 2-3 tahun, mempertimbangkan dua hal berikut:
1.      Tak Terlampau Jauh
Dua sampai tiga tahun adalah jarak usia yang tepat bagi sebagian pria. Sebab, dengan perbedaan usia yang tak terlampau jauh, mereka tidak merasa sok tua dan beda dunia. Pengalaman hidup pasangan tak akan jauh beda dengan mereka karena pasangan dan dirinya berada dalam generasi yang sama.
2.      Tak Ada Gap Komunikasi
Menurut pria, perbedaan usia yang tak terlampau jauh membuat komunikasi antara dia dan pasangannya akan berjalan lancar. Segala hal dapat didiskusikan bersama dalam satu frame. Begitupun saat menghadapi masalah dalam rumah tangga, dia dan pasangannya dapat berbicara dalam bahasa yang sama sehingga kecil kemungkinan terjadi salah paham.

Perkembangan Peserta Didik

BAB I
PENDAHULUAN


1.1.  Latar Belakang Permasalahan
Rasa rendah diri, adalah perasaan bahwa seseorang lebih rendah dibanding orang lain dalam satu atau lain hal. Perasaan demikian dapat muncul sebagai akibat sesuatu yang nyata atau hasil imajinasinya saja. Rasa rendah diri sering terjadi tanpa disadari dan bisa membuat orang yang merasakannya melakukan kompensasi yang berlebihan untuk mengimbanginya, berupa prestasi yang spektakuler,  Tidak seperti rasa rendah diri yang normal, yang dapat mendorong pencapaian prestasi, kompleks rasa rendah diri adalah berupa keadaan putus asa, yang mengakibatkan orang yang mengalaminya melarikan diri saat Untuk itu Kami membuat makalah yang berjudul “ Mengenal Rendah Diri Pada Individu ”

1.2.  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik oleh Dosen
  Pengampu  Ibu Sri Sumarsih, S.Pd.
2. Untuk mengetahui pengertian Rendah Diri  
3. Untuk mengetahui sebab timbulnya Rasa Rendah diri / minder pada individu
4. Menambah ilmu pengetahuan bagi Kami semua.

1.3.  Sistematika Penulisan
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan
1.2. Tujuan Penulisan
1.3. Sistematika Penulisan
BAB II. PEMBAHASAN
2.1.    Pengertian Rendah Diri
2.2.    Ciri – Ciri Rendah Diri
2.3.    Faktor Penyebab Rendah Diri/ Minder
2.4.    Cara Mengatasi Rasa Minder
BAB III. PENUTUP
3.1      Simpulan
3.2      Saran
DAFTAR PUSTAKA
























BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Rendah Diri
Minder atau rendah diri adalah perasaan diri tidak mampu dan menganggap orang lain lebih baik dari dirinya.Orang yang merasa minder cenderung bersikap egosentris, memposisikan diri sebagai korban, merasa tidak puas terhadap dirinya, mengasihani diri sendiri dan mudah menyerah.
Sering kali kita lebih menghargai orang lain daripada diri sendiri. Sikap ini membuat kita menjadi “minder” dan bahkan mungkin enggan berinteraksi dengan orang lain.Tentu saja sikap “minder” akan merugikan diri  kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Sebab kita tidak bisa membuat diri  kita berharga bagi orang lain dan mendedikasikan talenta ataupun keterampilan kita bagi orang-orang di sekitar kita. Untuk mengatasi sikap minder tersebut ada satu syarat, yakni menghargai diri  sendiri.
Minder adalah tipikal orang yg bermental lemah. Mental yg lemah akan merasa selalu tidak aman. Selalu gelisah dan kuatir. Karena kerja otak sudah dipenuhi dg rasa kuatir, takut dan gelisah tanpa sebab atau disebabkan oleh hal-hal kecil, maka kerja otakpun menjadi lemah dan tidak dapat berfungsi untuk memikirkan hal-hal besar yg bermanfaat buat diri sendiri dan orang lain.
2.2. Ciri – Ciri Rendah Diri
Ciri-ciri orang yang merasa minder ialah: ­
1.      Suka menyendiri.
2.      Terlalu berhati-hati ketika berhadapan dengan orang lain sehinggakan pergerakannya kelihatan kaku.
3.      Pergerakannya agak terbatas, seolah-olah sedar yang dirinya memang mempunyai banyak kekurangan.
4.      Berasa curiga terhadap orang lain
5.      Tidak percaya bahawa dirinya memiliki kelebihan
6.      Sering menolak apabila diajak ke tempat-tempat yang ramai orang.
7.      beranggapan bahwa orang lainlah yang harus berubahmenolak tanggung jawab hidup untuk mengubah diri menjadi lebih baik.
2.3. Faktor Penyebab Rendah Diri / Minder
Penyebab perasaan minder adalah:
Ø  Saat lahir - setiap orang lahir dengan perasaan rendah diri karena pada waktu itu ia tergantung pada orang lain yang berada di sekitarnya.
Ø  Sikap orangtua - memberikan pendapat dan evaluasi negatif terhadap perilaku dan kelemahan anak di bawah enam tahun akan menentukan sikap anak tersebut.
Ø   Kekurangan fisik - seperti kepincangan, bagian wajah yang tidak proporsional, ketidakmampuan dalam bicara atau penglihatan mengakibatkan reaksi emosional dan berhubungan dengan pengalaman tidak menyenangkan sebelumnya.
Ø  Keterbatasan mental - membawa rasa rendah diri saat dilakukan perbandingan dengan prestasi tinggi dari orang lain, dan saat diharapkannya penampilan yang sempurna padahal aturannya pun tidak dipahami.
Ø  Kekurangan secara sosial - keluarga, ras, jenis kelamin, atau status sosial.

2.4. Cara Mengatasi Rasa Rendah Diri / Minder
Tips Mengatasi Minder / Rendah Diri
1. Hadapi rasa takut
Jangan dihindari, toh ia tidak akan berakibat seburuk yg anda kira. Melawan rasa takut akan menambah percaya Diri anda.
2. Hargai diri sendiri sebagai Ciptaan Tuhan.
Bila anda telah berhasil dalam berbuat sesuatu. Bila tidak mengapa orang lain mesti menghargai anda? Bukankah akan lebih mudah apabila anda membantu dan menghargai diri  sendiri?
3. Kenali Diri
Mengenali diri merupakan bagian tersulit dalam proses menghargai diri Mengenali diri merupakan sebuah proses yang menuntut kejujuran kita dalam melihat dan mengevaluasi diri. Hanya dengan kejujuran inilah kita bisa mengidentifikasi keunggulan kita dan hal-hal dalam diri kita yang masih perlu kita perbaiki ataupun kembangkan lebih lanjut.
4. Atasi Kelemahan Anda
Hal yang satu ini sering kali sulit kita lakukan. Kita seringkali tidak mau mengakui kelemahan kita. Kita sering kali mengandalkan penilaian orang lain semata terhadap kelemahan kita. Padahal sebenarnya jika kita jujur, kitalah orang yang seharusnya lebih tahu kelemahan kita sendiri.
5.Lupakan kegagalan masalalu.
Biasanya kegagalan juga dapat membuat kita merasa minder/ rendah diri. tapi yang kita harus lakakan dari kegagalan belajarlah dari kesalahan itu tetapi janganlah mengira sesuatu itu salah sebelum ia akan terjadi lagi. Hindari membuat kesalahan yg sama tetapi jgn membatasi diri anda dg mengira bahwa anda gagal sebelumnya sehingga tidakakan bisa berhasil kali ini. Coba lagi, maka anda akanmenjadi lebih bijak dan lebih kuat. Jangan terperangkap pada masa lalu.
Setelah anda bisa membunuh rasa minder Silakan anda nikmati rasa percaya diri yang kelak akan mengantarkan anda menjadi manusia yang punya arti di hadapan Tuhan maupun manusia lainnya. dan dengan mengatasi rasa minder adalah sebuah langkah awal kita untuk menggapai semua keinginan kita, Ubah perasaan rendah diri kepada perasaan yang membina keyakinan diri
Kita berhak sukses seperti orang lain. Jangan biarkan perasaan rendah diri menguasai dalam bersaing mencapai keinginan dalam hidup. Pupuklah semangat untuk dapat bersaing itu adalah baik untuk masa depan.Semoga sahabat semua dapat mengatasi rasa minder untuk dapat terus menggapai mimpi.



















BAB III

3.1 Simpulan
            Rasa rendah diri Merupakan  perasaan bahwa seseorang lebih rendah dibanding orang lain dalam satu atau lain hal. Perasaan demikian dapat muncul sebagai akibat sesuatu yang nyata atau hasil imajinasinya saja. Rasa rendah diri sering terjadi tanpa disadari dan bisa membuat orang yang merasakannya melakukan kompensasi yang berlebihan untuk mengimbanginya, berupa prestasi yang spektakuler, atau perilaku antisosial yang ekstrim, atau keduanya sekaligus. Tidak seperti rasa rendah diri yang normal, yang dapat mendorong pencapaian prestasi, kompleks rasa rendah diri adalah berupa keadaan putus asa parah, yang mengakibatkan orang yang mengalaminya melarikan diri saat mengalami kesulitan.

3.3  Saran
Adapun saran – sarannya meliputi :
1.      Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat dignakan sebagai mana mestinya.
2.      Sebagai calon Tenaga pendidik kita harus dapat memberikan contoh yang baik dalam lingkungan sekolah maupun masyarakat.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini mulai dari pengumpulan data sampai dengan terwujudnya makalah ini tidak lepas kritik yang bersifat membangun dan pembaca demi kesempurnaan makalah pada masa yang akan datang.



DAFTAR PUSTAKA

Sumber : duniasex - charlie2008
http//www.geogle.co.id

Perkembangan Individu

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kematangan dan belajar memainkan peranan yang sangat penting dalam proses perkembangan individu. Dalam bukunya, Elizabeth B.Hurlock mengemukakan tiga fakta penting yang mengungkapkan keterkaitan antara belajar dan kematangan yang memiliki peranan penting terhadap proses perkembangan individu sebagai berikut :
       I.      setiap individu memiliki perbedaan dalam kepribadian, sikap-sikap dan pola perilaku yang dipengaruhi oleh kematangan dan kemampuan dirinya untuk belajar.
    II.      kematangan individu memberikan batasan akan pencapaian hasil belajar sekalipun hal itu dilakukan dengan metode yang paling disukai dan didorong oleh motivasi yang berasal dari dalam dirinya. Kegagalan dapat pula disebabkan oleh factor genetis yang dimiliki individu tersebut, yang mengakibatkan sulitnya mengembangkan potensi yang dimilikinya..
Pertumbuhan dan belajar mendapat tempat dan menjadi fokus yang sangat dititikberatkan di bidang kajian psikologi perkembangan manusia. Tarikan ini didorong oleh keunikan konflik yang wujud di dalam diri remaja semasa melalui proses transformasi antara alam kanak-kanak menuju alam kedewasaan. Kewujudan konflik ini menyebabkan remaja sering dilihat oleh masyarakat sebagai golongan minoriti yang gemar mencetuskan perilaku salah dan memiliki keadaan minda yang tidak seimbang.
Proses perkembangan individu dalam proses belajar dimulai dari melepaskan zaman kanak-kanak hingga masa tua untuk membina asas kematangan alam dewasanya, menjadikan individu mengatasi konflik sosial di antara pembentukan identitas diri dengan kekeliruan peranannya dalam kehidupan..



1.2 Tujuan Penulisan
            Dalam penulisan makalah ini, kami mempunyai tujuan antara lain :
  1. Untuk memenuhi tugas Mata kuliah Perkembagan Individu, Dosen pengampu ialah   H. Sudjatmo, S. Pd.
  2. Memperluas wawasan mengenai hubungan antara perkembangan individu dengan belajar
  3. Mengetahui tahap-Tahap Perkembangan Pribadi Manusia

1.3 Sistematika Penulisan
JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I             PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
1.2  Tujuan Penulisan
1.3  Sistematika Penulisan
BAB II                        PERMASALAHAN
BAB III          PEMBAHASAN
3.1 Pengertian dan Prinsip-prinsip Perkembangan Individu
                                    1.1.1. Pengertian Perkembangan Individu
1.1.2 Prinsip-Prinsip Perkembangan
3.2 ciri-ciri dan Aspek perkembangan Individu
2.1.1 Ciri-ciri Perkembangan Individu
2.1.2  aspek-aspek yang mempengaruhi perkembangan meliputi:
3.3.   Pengertian dan Hakekat Belajar
3.1.1 Pengertian Belajar
                              3.1.2 Hakekat Belajar
           3.4 Hubungan Proses Perkembangan Individu dengan belajar
            4.1.1  Tugas-tugas Perkembangan pada pembelajaran
                  4.1.1.1  Tugas Perkembangan Anak Usia Dini
                  4.1.1.2  Tugas Perkembangan Anak Usia Sekolah
                  4.1.1.3  Tugas Perkembangan Anak Remaja
BAB IV          PENUTUP 
4.4.1  Kesimpulan
4.4.2  Kritik dan Saran
DAFTAR PUSTAKA



BAB II
PERMASALAHAN
          Dalam hubungannya perkembangan dengan belajar  dapat diartikan sebagai perubahan kuantitatif pada materiil sesuatu sebagai akibat dari adanya pengaruh kepribadian. Perubahan individu ini dapat berupa pembesaran atau pertambahan dari tidak ada menjadi ada, dari kecil menjadi besar, dari sedikit menjadi banyak, dari sempit menjadi luas, dan sebagainya. Ini tidak berarti, bahwa pembelajaran itu hanya berlaku pada hal-hal yang bersifat kuantitatif, karena tidak selamanya materiil itu kuantitatif. Materil dapat terdiri dari bahan-bahan kuantitatif, dapat pula materil terdiri dari bahan-bahan kualitatif. Jadi, materiil itu dapat terdiri dari kualitas ataupun kuantitas. Kenyataan inilah yang barangkali membuat orang mengalami kesulitan dalam membedakan antara perkembangan dengan belajar. Salah satu kendala terkadang manusia tidak mengetahui bahwa perkembangan individu karena hasil dari proses belajar, dalam hal ini yan menjadi pertanyaan adalah :
1)      Kapankah proses belajar itu dimulai dan kapankah berakhir ?
2)      Bagaimana hubungan antara perkembagan individu dengan prose belajar ?

Oleh karena itu dalam bab Pembahasan selanjutnya akan kita uraikan jawaban-jawaban yang menjadi topik permasalahan diatas.











BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian dan Prinsip-prinsip Perkembangan Individu
      3.1.1. Pengertian Perkembangan Individu
            Perkembangan individu merupakan suatu perubahan, dan perubahan ini tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif. Perkembangan tidak ditekankan pada segi materiil, melainkan pada segi fungsional. Dari uraian ini perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan kualitatif dari pada fungsi-fungsi.
      3.1.2 Prinsip-Prinsip Perkembangan
a.Perkembangan merupakan proses yang tidak pernah berhenti (never ending proses)
b.Semua aspek perkembangan saling mempengaruhi.
c.Perkembangan mengikuti pola atau arah tertentu.
d.Perkembangan terjadi pada tempo yang berlainan.
e.Setiap fase perkembangan mempunyai ciri khas.
f.Setiap individu yang normal akan mengalami tahap atau fase perkembangan.
3.2 ciri-ciri dan Aspek perkembangan Individu
       3.2.1 Ciri-ciri Perkembangan Individu
1. Terjadinya perubahan dalam aspek :
  • Fisik; seperti : berat dan tinggi badan.
  • Psikis; seperti : berbicara dan berfikir.
2. Terjadinya perubahan dalam proporsi.
  • Fisik; seperti : proporsi tubuh anak berubah sesuai dengan fase perkembangannya.
  • Psikis; seperti : perubahan imajinasi dari fantasi ke realistis.
3. Lenyapnya tanda-tanda yang lama.
  • Fisik; seperti: rambut-rambut halus dan gigi susu, kelenjar thymus dan kelenjar pineal.
  • Psikis; seperti : lenyapnya masa mengoceh, perilaku impulsif.
4. Diperolehnya tanda-tanda baru.
  • Fisik; seperti : pergantian gigi dan karakteristik sex pada usia remaja, seperti kumis dan jakun pada laki dan tumbuh payudara dan menstruasi pada wanita, tumbuh uban pada masa tua.
  • Psikis; seperti berkembangnya rasa ingin tahu, terutama yang berkaitan dengan sex, ilmu pengetahuan, nilai-nilai moral dan keyakinan beragama.

     3.2.3  aspek-aspek yang mempengaruhi perkembangan meliputi:
1)      Anak sebagai keseluruhan
Anak sebagai keseluruhan tumbuh oleh kondisi dan interaksi dari setiap aspekepribadianyang ia miliki.
2)      Umur mental anak mempengaruhi perkembangannya
     Umur mental anak mempengaruhi kapasitas mentalnya. Kapasitas mental anak menentukan prestasi belajarnya.
3)      Permasalah tingkah laku sering berhubungan dengan pola-pola perkembangan
      Kita harus menyadari, bahwa perkembangan situasi-situasi menimbulkan tertentu yang menimbulkan problem-problem tingkah laku.
4)      Penyesuaian pribadi dan sosial mencerminkan dinamika pertumbuhan
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada anak akibat perkembangan dan setelah dihadapkan dengan tantangan kultur masyarakat terutama harapan-harapan orangtua, guru-guru dan teman-teman sebayanya, tercermin di dalam penyesuaian sosialnya.
3.3.   Pengertian dan Hakekat Belajar
3.3.1 Pengertian Belajar
Belajar adalah suatu kata yang sudah akrab dengan semua lapisan masyarakat. Bagi para pelajar atau mahasiswa kata “belajar” merupakan kata yang tidak asing. Bahkan sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua kegiatan mereka dalam menuntut ilmu di lembaga pendidikan formal. Kegiatan belajar mereka lakukan setiap waktu sesuai dengan keinginan. Entah malam hari, siang hari, sore hari atau pagi hari.
3.3.2 Hakekat Belajar    
Belajar merupakan proses orang memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan, dan sikap. (Margaret Gredler, terj Munandar, 1994; hlm 1). Dengan belajar peserta didik dapat mengetahui hal-hal yang baru dan dapat meningkatkan pengetahuan yang dimilikinya, mengubah dari tidak tahu menjadi tahu, dari yang salah menjadi benar, dan dari kurang baik menjadi baik. Seperti yang dikatakan oleh Riberu, bahwa belajar merupakan proses dan dalam proses ini orang berkenalan dengan salah satu pola  memperbaiki salah satu pola tingkah laku yang telah dikuasainya. (Riberu, 1982; hlm 10) Selain itu Riberu juga mengatakan, belajar bisa berarti berkenalan dengan atau memperbaiki pemikiran, berkenalan dengan atau memperbaiki turturan bicara, berkenalan dengan atau memperbaiki tindakan/kegiatan.
Dengan kata lain, belajar merupakan suatu upaya untuk memperbaiki, mengembangkan, bahkan meningkatkan kemampuan afektif, psikomotorik, dan kinestetik peserta didik.
Kegiatan belajar yang dilakukan oleh peserta didik harus seimbang antara otak kanan dan kiri. Untuk mencapai hal tersebut, sebaiknya proses belajar tidak hanya dilaksanakan dengan metode konservatif (ceramah/DDCH -> Duduk, dengar, catat, dan hafal), tetapi juga metode-metode lain yang dapat merangsang keaktifan peserta didik.
Belajar bisa melalui pengalaman melibatkan peserta didik secara langsung dalam masalah atau isu yang dipelajari. Sehingga peserta didik dapat lebih aktif dan menerima pelajaran dengan baik. Bukan sebaliknya cepat jenuh, bosan, dan sebagainya.
Belajar aktif dan menyenangkan (biasa dikenal dengan ‘Learning/ Learning by Fun’) dapat menstimulus kreativitas peserta didik dalam proses belajar.
3.4 Hubungan Proses Perkembangan Individu dengan Belajar
·  Kematangan dan belajar memainkan peranan yang sangat penting dalam proses perkembangan individu.
·  Dalam bukunya, Elizabeth B.Hurlock mengemukakan tiga fakta penting yang mengungkapkan keterkaitan antara belajar dan kematangan yang memiliki peranan penting terhadap proses perkembangan individu sebagai berikut :
  • Menurut Dewey, “Experience is the only basis for knowledge and setiap individu memiliki perbedaan dalam kepribadian, sikabp-sikap dan pola perilaku yang dipengaruhi oleh kematangan dan kemampuan dirinya untuk belajar.
  • kematangan individu memberikan batasan akan pencapaian hasil belajar sekalipun hal itu dilakukan dengan metode yang paling disukai dan didorong oleh motivasi yang berasal dari dalam dirinya. Kegagalan dapat pula disebabkan oleh factor genetis yang dimiliki individu tersebut, yang mengakibatkan sulitnya mengembangkan potensi yang dimilikinya..
·  belajar dan pelatihan erat kaitannya dengan jadual yang terencana yang menunjukkan kesiapan individu untuk melakukan kegiatan belajar, kapan belajar itu dilakukan dan harus dilakukan. Harris dalam Hurlock, menekankan pentingnya memperoleh kegiatan belajar bila individu itu sudah siap. “Mungkin orang yang terlambat untuk melakukan pelatihannya tidak akan merealisasikan segala kemampuannya”.
·  Pengalaman itu mencakup segala aspek kegiatan manusia, baik yang berbentuk aktif maupun yang pasif. Mengetahui tanpa mengalami adalah omong kosong.
·  Pendidikan merupakan reorganisasi dan rekonstruksi yang konstan dari pengalaman. Pada setiap saat ada tujuan, perbuatan pendidikan selalu ditujukan untuk mencapai tujuan. Pada setiap fase perkembangan kehidupan individu, mulai dari masa kanak-kanak, masa pemuda, dan dewasa, dapat dikatakan sebagai fase pendidikan. Semua yang dipelajari pada fase-fase tersebut mempunyai arti sebagai pengalaman. Pendidikan itu tidak akan pernah berakhir, kecuali kalau seseorang sudah mati.
·  Tujuan pendidikan diarahkan untuk mencapai suatu kehidupan yang demokratis. Demokratis bukan dalam arti politik, melainkan sabagai cara hidup bersama sebagai way of life, pengalaman bersama dan komunikasi bersama. Tujuan pendidikan terletak pada proses pendidikan itu sendiri, yakni kemampuan dan keharusan individu meneruskan perkembangannya.
·  Untuk mengetahui bagaimanakah proses belajar terjadi pada anak, baiklah kita lihat bagaimana syarat-syarat untuk pertumbuhan.
·  Menurut Dewey, pendidikan sama artinya dengan pertumbuhan. Syarat pertumbuhan adalah adanya kebelumdewasaan (immaturity), yang berarti kemampuan untuk berkembang. Immaturity tidak berarti negatif melainkan positif, yaitu kemampuan, kecakapan, dan kekuatan untuk tumbuh. Ini menunjukkan bahwa anak adalah hidup. Ia memiliki semangat untuk berbuat. Pertumbuhan bukanlah sesuatu yang harus kita berikan, melainkan sesuatu yang harus mereka lakukan.
·  Ada dua sifat dari immaturity yaitu kebergantungan dan plastisitas. Kebergantungan berarti kemampuan untuk menyatakan hubungan sosial dan ini akan menyebabkan individu itu matang dalam hubungan sosial. Sebagai hasilnya, akan tumbuh interpedensi atau saling kebergantungan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain.
·  Plastisitas mengandung pengertian kemampuan untuk berubah. Plastisitas juga berarti habitat yaitu kecakapan menggunakan keadaan lingkungan sebagai alat untuk mencapai tujuan, bersifat aktif mengubah lingkungan.
·  Kapankah proses belajar itu dimulai dan kapankah berakhir ? Sesuai dengan pandangan John Dewey, bahwa pendidikan itu adalah pertumbuhan itu sendiri, maka pendidikan dimulai sejak lahir dan berakhir pada saat kematian. Demikian pula halnya dengan belajar yang tak pernah lepas dari pendidikan atau dapat dikatakan bahwa belajar identik dengan pendidikan. Pendidikan adalah pengalaman, yaitu suatu proses yang berlangsung terus menerus.
  • Belajar dari pengalaman adalah bagaimana menghubungkan pengalaman kita dengan pengalaman masa lalu dan yang akan datang. Belajar dari pengalaman berarti mempergunakan daya fikir reflektif (reflektive thinking), dalam pengalaman kita.
  • Pengalaman yang efektif adalah pengalaman yang reflektif. Ada lima langkah berfikir reflektif menurut John Dewey, yaitu :
  1. merasakan adanya keraguan, kebingungan yang menimbulkan masalah.
  2. mengadakan interpretasi tentative (merumuskan hipotesis)
  3. mengadakan penelitian atau pengumpulan data yang cermat
  4. memperoleh hasil dari hipotesis tentative
  5. hasil pembuktian sebafai sesuatu yang dijadikan dasar untuk berbuat.
     3.4.1 Tugas-tugas Perkembangan Pada  Pembelajaran.
  • Tugas-tugas perkembangan atau developmental tasks adalah sikap, pengetahuan, dan keterampilan (perbuatan atau tingkah laku) yang seyogyanyalah dimiliki oleh oleh setiap individu sesuai dengan fase perkembangannya.
  • Munculnya tugas perkembangan bersumber kepada empat factor, yaitu : kematangan fisik, kematangan psikis, tuntutan masyarakat secara cultural, dan tuntutan norma agama.


3.4.1.1 Tugas Perkembangan Anak Usia Dini
  • belajar berjalan
  • belajar memakan makanan padat
  • belajar berbicara
  • belajar buang air kecil dan air besar
  • belajar mengenal perbedaan jenis kelamin
  • mencapai kestabilan jasmaniah fisiologis
  • mengenal konsep-konsep sederhana tentang aspek social dan alam
  • belajar berhubungan emosional dengan orangtua, saudara, dan orang lain
  • belajar mengenal konsep baik dan buruk, yang berarti mengembangkan kata hati.

3.4.1.2 Tugas Perkembangan Anak Usia Sekolah
  • belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan
  • belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan
  • belajar bergaul dengan teman sebaya
  • belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya
  • belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis dan berhitung
  • belajar mengembangkan atau memahami konsep-konsep tentang tingkah laku, kehidupan social, dan alam.
  • Belajar mengembangkan sikap-sikap social yang positif terhadap orang lain
  • Belajar mengembangkan kata hati (tentang baik-buruk, benar-salah)
3.4.1.3 Tugas Perkembangan Remaja
  • mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya, baik sesama jenis kelamin maupun dengan jenis kelamin yang berbeda.
  • Mematangkan diri dalam peranan sosial sebagai laki-laki atau perempuan.
  • Menerima keadaan jasmaniahnya sendiri sebagaimana adanya dan memanfaatkannya secara efektif.
  • Mencapai kemandirian pribadi, baik terhadap orangtua maupun terhadap orang lain.
  • Memilih dan menyiapkan diri untuk pekerjaan tertentu.
  • Menyiapkan diri untuk pernikahan dan kehidupan berkeluarga
  • Mengembangkan konsep-konsep dan kemampuan intelektual untuk hidup ebagai warga Negara.
  • Mencapai jaminan untuk kemandirian dalam bidang ekonomi
  • Mengembangkan kemauan dan kemampuan bertingkah laku social secara positif
  • Mengembangkan seperangkat system nilai dan etika sebagai pedoman dalam bertingkah laku.
Implikasi proses perkembangan terhadap belaja diswasar
Upaya yang dapat dilakukan untuk memperlancar proses perkembangan anak-anak SD khususnya di sekolah diantaranya adalah :
  1. menciptakan situasi sekolah yang dapat menimbulkan rasa “betah” bagi anak didik, baik secara sosial, fisik maupun akademis.
  2. usaha memahami anak didik secara menyeluruh, baik prestasi belajar, sosial, maupun seluruh aspek pribadinya.
  3. menggunakan metode, media, dan sumber belajar yang bervariasi yang daapat menimbulkan gairah dan meningkatkan motivasi belajar siswa.
  4. menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang aktif, kreatif dan menyenangkan
  5. sekolah sebagai mini society memberikan kesempatan bagi siswa untuk berinteraksi dengan lingkungan secara fisik, social dengan aturan dan norma yang jelas dan mudah dipahami
  6. mengoptimalkan program pembiasaan di sekolah dalam rangka pembentukan karakter siswa seperti berbahasa yang santun, berlaku sopan, dan lain-lain.
  7. sekolah menjalin kerjasama dan hubungan yang baik dengan orangtua, tokoh masyarakat, dewan sekolah atau pihak terkait untuk meningkatkan mutu pendidikan
  8. mengembangkan ketauladan dari guru dan kepala sekolah yang baik seperti memberi sikap ramah, optimis, mampu mengontrol diri, tidak mudah terganggu, tindakannya teratur, mempunyai rasa humor,dll.
  9. mengoptimalkan peran bimbingan dan konseling
  10. menciptakan iklim kerja yang kondusif, penuh kekeluargaan antar sesame guru, kepala sekolah dan seluruh komponen sekolah.


BAB IV
PENUTUP
5.1  Kesimpulan                                   
Dengan beberapa penjabaran yang dijelaskan diatas maka saya secara pribadi menyimpulkan tingkat keberhasilan dan kegagalan pendidik atau guru akan banyak ditentukan oleh profesionalisme pendidik didalam segala kondisi suasana, lingkungan, keluarga, sarana antara lain :
Hubungan Proses Perkembangan Individu dengan belajar saya simpulkan sbb :
Ø  Kematangan dan belajar memainkan peranan yang sangat penting dalam proses perkembangan individu.
Ø  Dalam bukunya, Elizabeth B.Hurlock mengemukakan tiga fakta penting yang mengungkapkan keterkaitan antara belajar dan kematangan yang memiliki peranan penting terhadap proses perkembangan individu
Ø  Perkembangan tidak dapat dipisahkan dari proses belajar. Pertumbuhan suatu materi jasmaniah dapat menumbuhkan fungsi dan bahkan perubahan fungsi pada materi jasmaniah itu. Perubahan fungsi jasmaniah dapat menghasilkan kematangan atas fungsi itu. Kematangan fungsi-fungsi jasmaniah sangat mempengaruhi perubahan pada fungsi-fungsi kejiwaan.


5.2  Saran
            Adapun beberapa saran yang dapat saya sampaikan yaitu :
  1. Sebagai generasi muda (mahasiswa BK) harus lebih memahami pentingnya proses tahapan pembelajaran pada perkembangan peserta didik khususnya seorang guru yang nantinya akan menerapakan ilmu kependidikanya kepada peserta didik.
  2. Sebagai generasi muda (mahasiswa BK) Hakekat perkmbangan dan belajar Perkembangan Pribadi Manusia.
  3. Sebagai harus memperdalam lagi wawasan mengenai hubungan antara perkembangan individu dengan belajar
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini mulai dari pengumpulan data sampai dengan terwujudnya makalah ini tidak lepas kritik yang bersifat membangun dan pembaca demi kesempurnaan makalah pada masa yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA


1)      Fatimah, Enung, 2006, Psikologi Perkembangan, Bandung : Pustaka Setia
2)      Sunarto,H.dkk, 2002, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta : Pusat Perbukuan Depdikbud & PT Rineka Cipta
3)      Al-Mighwar,M, 2006, Psikologi Remaja, Bandung : Pustaka Setia
4)      Dahar, Ratna Wilis, 1989, Teori-Teori Belajar, Jakarta : Erlangga
5)      Gardner, Howard, (terjemahan Sindoro,A),2003, Kecerdasan Majemuk: Teori dalam Praktek. Batam, PT Interaksara.