Friday, July 8, 2011

Hubungan Usia dengan Faktor Perkawinan

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hubungan Usia dan Faktor Fisiologis

Dalam Bab II pasal 7 ayat ( 1 ) Undang – Undang Perkawiann denag jelas dinyatakan bahwa umur sebagai salah satu syarat yang perlu dipenuhi bila seseorang akan melakukan perkawinan. Dengan demikian akan jelas bahwa umur mempunyai peranan dalam perkawinan. Adapun kaitannya denagn faktor fisiologis, umur juga mempunyai hubungan erat karenan dengan keadaan fisik yang sehat dan matang maka sangat berpengaruh terhadap kematangan seseorang dalam memproduksi keturunannya.
Namun umur dalam hubungannya dengan perkawinan tidaklah cukup dikaitkan dengan segi fisiologik semata, tetapi juga perlu dikaitkan dengan segi psikologik dan segi sosial, karena dalam perkawinan hal – hal tersebut tidak dapat ditinggalkan , tetapi ikut berperan. Dalam undang – undang dengan tegas dinyatakan bahwa dalam perkawinan pria harus sudah berusia 19 tahun sedangkan wanita sudah harus berumus 16 tahun, kurang dari itu harus ada dispensasi.
Umur diatsa bila dilihat dari segi fisiologik, seseorang umumnya sudah masak, ini berarti bahwa pada umur tersebut pasangan itu telah dapat membuahkan keturunan, karena dari segi biologik – fisiologik alat – alat untuk memproduksi keturunan telah dapat menjalankan fungsinya. Tanda bahwa alat mereproduksi keturunan telah berfungsi, pada wanita ditandai denagn menarche yaitu haid yang pertama kali, sedangkan pada pria ditandai datangnya polutio yaitu keluarnya air mani pada waktu tidur yang sering disebut dengan mimpi indah. Bila anak wanita telah haid dan pada anak pria telah mengalami polutio, maka secara fisiologik mereka telah masak, dan bila nereka mengadakan hubungan seksual, kemungkinan untuk mengandung atau hamil dapat terjadi.
Dengan demikian bila anak wanita umur 16 tahun dan pria 19 tahun kawin, maka pasangan tersebut telah dapat menghasilkan keturunan, kalau tidak ada faktor – faktor yang menghambatnya. Dengan demikian sekali lagi dapat ditekankan bahwa umur tersebut lebih menitik beratkan pada segi fifiologik.

2.2. Hubungan Usia dan Faktor Psikologis

Pada bagian depan telah dikemukakan bahwa umur selain mempunyai kaitan dengan keadaan fisiologik, umur juga mempunyai kaitan dengan keadaan psikologik seseorang. Dilihat dari segi psikologi sebenarnya pada anak wanita berumur 16 tahun, belumlah dapat dikatakan bahwa anak tersebut telah dewasa secara psikologiknya. Demikian pula pada anak pria berumur 19 tahun, belum dapat dikatakan bahwa mereka sudah masak secara psikologik. Pada umur 16 tahun maupun 19 tahun pada umumnya masih digolongkan pada umur remaja atau adolesensi ( Hurlock, 1959 ). Bagaimana keadaaan psikologik pada masa adolesensi atau remaja akan lain dengan masa dewasa. Karena itulah seperti telah dipaparkan di muka bahwa batas usia yang merupakan batas bawah yang terkandung dalam Undang – Undang Perkawinan itu ditinjau dari segi psikologik memang kurang sesuai.
Dari segi psikologi perkembangan, dengan makin bertambah umur seseorang, diharapkan akan lebih masak lagi psikologiknya. Anak akan mempunyai keadaan psikologik yang berbeda dengan remaja, demikian pula remaja akan mempunyai keadaan psikologik yang lain denagn orang dewasa, dan juga berbeda dengan keadaan orang yang telah lanjut usia. Perkawinan pada umur yang masih muda akan banyak mengundang masalah yang tidak diharapkan, karena segi psikologiknya belum matang. Tida jarang pasangan yang mengalami keruntuhan dalam rumah tangganya karena perkawinan yang msih muda. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan seorang ibu sebagai klien mempunyai keluhan atau masalah bahwa suaminya mempunyai hubungan dengan wanita lain. Ibu tadi berumur sekitar 23 tahun dan telah kawin selama 5 tahun dan telah mempunyai 2 orang anak, masing – masing berumur 4 tahun dan 1 tahun. Suami ibu tersebut berumur kurang lebih 25 tahun.
Dari keadaan tersebut diatas salah satu segi yang dapat dikemukakan bahwa pada waktu perkawinan umur ibu tersebut kurang lebih 18 tahun dan suaminya berumur 20 tahun. Dapat dikatakan bahwa pasangan tersebut memang masih relatif muda pada waktu kawin, walaupun sudah memenuhi ketentuan yang termaktub dalam Undang – Undang Perkawinan. Salah satu sebab kurang adanya harmonisasi dalam keluarga itu, dapat bertitik tolak pada umur yang relatif masih muda ini , sehingga dengan bertambahnya umur suami cakrawalanya makin bertambah luas dan ini dapat mengakibatkan keadaan yang cukup runyam seperti tersebut di atas. Berhubungan dengan hal tersebut maka dalam perkawinan kemasakan atau kematangan psikologik perlu mendapatkan pertimbangan yang mendalam.

2.3. Hubungan Usia dan Kematangan Sosial

Selain dri segi fisiologik dan psikologiknya, dalam perkawinan juaga perlu memperhatikan segi sosialnya, khususnya sosial – ekonomik. Kematnag sosial – ekonomik pada umumnya juga berkaitan erat dengan umur individu. Makin bertambah umur seseorang, kemungkinan untuk kematangan dalam bidang sosial – ekonomik juga akan makin nyata. Pada umumnya denagn bertambahnya umur seseorang akan makin kuatlah dorongan untuk mencari nafkah sebagai menopang kehidupan. Karena itu dalam hal perkawinan masalah kematanagn ekonomik perlu juga mendapatkan pemikiran, sekalipun dalam batas yang minimal.
Seseorang yang telah berani membentuk keluarga melalui perkawianan, segala tanggung jawab dalam hal menghidupi kelurga itu terletak pada pasangan tersebut bukan pada oreang lain, termasuk orang tua. Karena itulah maka dalam perkawinan masalah kematangan sosial – ekonomik perlu dipertimbangkan secara matang karena ini akan berperan sebagai penyangga dalam kehidupan keluarga yang bersangkutan. Anak yang masih muda, misalnya pada umur 19 tahun pada umumnya belum mempunyai sumber penghasilan atau penghidupan sendiri. Kalau pada umur yang demikian muda telah melangsungkan perkawianan, maka dapat diperkirakan bahwa kesulitan – kesulitan yang berkaitan denagn sosial – ekonomik akan segera muncul, yang dapat membawa akibat yang cukup rumit.

2.4. Usia Ideal dalam Perkawinan

Seperti telah dipaparkan di muka dalm Undang – Undang Perkawinan hanya tercantum batas umur yang paling rendah, batas bawah seseorang boleh melangsungkan perkawianan, sedangkan batas atas tentang umur itu tidak dikemukakan dalam Undang – Undang tersebut. Dalam hal umur dikaitkan dengan perkawinan, memang tidak adanya ukuran yang pasti, artinya bahwa umur sekian itu yang paling baik. Kalau sekiranya itu ada, hanyalah merupakan patokan yang tidak bersifat mutlak, karena hal tersebut bersifat subyektif, masing – masing individu mungkin mempunyai ukuran sendiri – sendiri. Namun demikian, untuk memberikan jawaban persoalan umur berapakan merupakan umur yang ideal, dapat dikemukakan beberapa hal sebagai bahan pertimbangan, yaitu :
1)      Kematangan fisiologik atau kejasmanian
Untuk melakukan tugas sebagai akibat perkawianan dibutuhkan keadaan jasmani yang cukup matang, cukup sehat. Pada umur 16 tahun pada wanita dan 19 tahun pada pria kematangan ini telah tercapai.
2)      Kematangn psikologik
Dalam perkawinan dibutuhkan kematangan psikologik karena dalam perkawinan biasanya banyak hal yang timbul dan membutuhkan pemecahannya dari segi kematangan psikologik ini. Sehingga diharapkan adanya kebijaksanaan dalam keluarga. Kematangan ini pada umumnya dapat dicapai setelah umur 21 tahun.
3)      Kematnag sosial, khususnya sosial – ekonomik
Kematangan sosial, khususnya sosial – ekonomik diperlukan dalam perkawinan, karena hal ini merupakan penyangga dalam memutar roda keluarga sebagai akibat perkawinan.
4)      Tinjauan masa depan atau jangkauan ke depan
Adanya perencanaan pada masa yang akan datang, karena pada dasarnya dengan adanya perkawinan menghendaki adanya keturunan yang dapat melangsungkan keturunan keluarga itu. Orang tua tidak menghendaki bahwa pada waktu orang tua telah jompo, anak – anaknya masih menjadi beban orang tua. Oleh karena itu pandangan ke depan perlu dipertimbangkan dalam perkawinan.
5)      Perbedaan perkembangn antara pria dan wanita
Seperti diketahui bahwa perkembangan antara wanita dan pria tidaklah sama, artinya kematangan pada wanita tidak akan sama jatuh waktunya denagn pria. Seorang wanita yang umurnya sama dengan seorang pria, tidak berarti bahwa kematangan segi psikologiknya juga sama. Sesuai denagn segi perkembangannya, pada umumnya wanita lebih dahulu mencapai kematanagn dari pada pria. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa untuk melangsungkan perkawinan pada wanita sekitar 23 – 24 tahun sedangkan pria pada usia sekitar 26 – 27 tahun. Karena pada umur – umur tersebut pada umumnya telah dicapai kematanagn kejasmanian, psikologik dan dalam keadaan normal pria yang berumur sekitar 26 – 27 tahun telah mempunyai sumber penghasilan untuk menghidupi keluarga sebagai akibat perkawianan tersebut.

2.5. Perbedaan Usia Suami dengan Isteri
Perbedaan umur antara suami dan isteri adalah suatu kejadian yang wajar namun sebaliknya persamaan umur antara suami dan isteripun merupakan keadaan yang dapat dijumpai pula. Namun dalam perbedaan umur anatara suami dan isteri disarankan suami sebaiknya lebih tua dari isteri, dan perbedaan antara suami dan isteri jangan sampai terlalu jauh. Dengan demikian suami akan dapat membimbing isterinya penuh dengan pengertian untuk menuju ke arah tujuan yang dicita – citakan dlam perkawinan tersebut.
Bila kita perhatikan dari segi psikologi kedewasaan antara laki - laki dengan perempuan, maka perempuan akan lebih awal pencapaian kematangan kedewasaannya secara umum. Sehingga, bila laki - laki lebih tua dari calon istrinya akan terjadi kesamaan kedewasaan. Terbukti ketika perempuan memasuki lingkungan pernikahan, ia akan segera pandai menempatkan dirinya dengan semestinya di dalam kehidupan rumah tangga. Sang istri lebih cekatan, lebih cag-ceg, dan tahu secara sasmita bagaimana ia memosisikan diri. Hal ini diperkuat dengan keadaan dalam rumah tangga bila sang istri sedang sakit, maka rumah tangga tersebut layaknya bagai kapal pecah. Tetapi, kalau suami yang sakit, rumah tangga terus berjalan sebagaimana mestinya.
Bila kita cermati dari segi ekonomi, mengapa idealnya sang suami lebih tua agar sang lakilaki lebih dahulu merintis karier dan memiliki jalan kehidupan yang baik. Ia memiliki sumber nafkah yang pasti sehingga kelak ketika lakilaki siap memasuki pernikahan maka sang suami sudah siap dalam menafkahi istri dan anak-anaknya. Jika lebih muda atau sebaya, maka suami dan istri akan berangkat dari garis yang sama sehingga tidak menutup kemungkinan rumah tanggaya akan ditopang oleh keluarga besarnya untuk beberapa tahun ke depan. Iya kalau suami cepat mendapatkan sumber hidup yang pasti, kalau tidak maka suami akan ditopang hidupnya oleh istri. Istri akan berprofesi sebagai wanita kerier dan suami hanya sebagai suami rumahan; ngurusi rumah dan merawat anak-anak.
Bila dilihat dari segi biologis, hasrat lakilaki itu tak ada matinya biarpun usianya udah kepala 6, 7, atau 8 sekalipun. Sementara apakah sang istri akan masih mampu melayani hasrat biologis sang suami? Maka, di sinilah biasanya ketika pernikahan berjalan setengah jalan dan usia melewati kepala 4 sementara istri sudah tidak begitu berhasrat, entah karena  bosan atau capek membesarkan dan mengurusi anak-anak, hubungan biologis suami istri menemui beberapa kendala. Akibatnya sang suami mencoba melirik-lirik ke yang lain, ke yang lebih muda - yang masih fresh.
Karena hubungan biologis yang tidak lagi seharmonis ketika masih muda, maka kita kerap mendapati lakilaki (suami) berani untuk menikah lagi ketika usia menjalani atau melewati angka 4.  Sang suami akan berterus terang kepada istri untuk minta izin menikah  lagi. Bila istri mengizinkan, maka sang istri akan dimadu. Bila istri tak mengizinkan, sang suami akan sembunyi-sembunyi menikah siri. Atau, lebih celaka, terjadilah badai perceraian dengan 1001 alasan yang ujung-ujungnya istri dan anak-anak menjadi korban.
SURVEI yang dilakukan CHIC terhadap 50 pria berusia 25 sampai 35 tahun menunjukkan, 65 persen pria memilih perempuan yang berusia 5 tahun lebih muda untuk dijadikan pasangan. Sementara itu, sebanyak 25 persen pria memilih perempuan berusia 2-3 tahun lebih muda sebagai pasangan. Sisanya, memilih perempuan seumur dan 10 tahun lebih muda.
Apa yang menjadi alasan mereka? Para pria yang memilih pasangan lebih muda lima tahun memberikan tiga alasan atas pilihan mereka, yaitu:
1.      Kedewasaan
Sebagian pria ini menganggap pertumbuhan psikologis perempuan lebih cepat tiga tahun sehingga mereka cenderung memilih pasangan yang berusia lima tahun lebih muda. Para pria berharap dengan usia yang lebih tua lima tahun, mereka bisa menjadi sosok yang lebih dewasa daripada pasangannya, baik dalam cara berpikir maupun tingkah laku. Dengan begitu, mereka bisa mengayomi pasangannya dan menjadi sosok yang dapat diandalkan.
2.      Lebih Mapan
Finansial menjadi faktor penting yang jadi perhatian para pria. Faktor inilah yang terkadang jadi penyebab keengganan mereka berkomitmen. Mereka menganggap usia yang jauh lebih tua membuat karier mereka telah berada di posisi lebih mapan dibandingkan dengan pasangannya. Asumsinya, jika mereka telah merintis karier, pasangannya baru mulai menapaki dunia karier.
3.      Tidak Egois
Perbedaan usia yang tidak terlalu dekat membuat pria bisa bersikap lebih bijaksana. Tak lagi hanya mementingkan ego semata, tetapi lebih mengandalkan kompromi dan pikiran dingin dalam menyelesaikan setiap masalah. Para pria ini menganggap perbedaan usia lima tahun membuat mereka bisa jadi pendengar yang baik dan bersikap responsif atas keinginan pasangan.

Sementara itu, pria yang memilih pasangan lebih muda 2-3 tahun, mempertimbangkan dua hal berikut:
1.      Tak Terlampau Jauh
Dua sampai tiga tahun adalah jarak usia yang tepat bagi sebagian pria. Sebab, dengan perbedaan usia yang tak terlampau jauh, mereka tidak merasa sok tua dan beda dunia. Pengalaman hidup pasangan tak akan jauh beda dengan mereka karena pasangan dan dirinya berada dalam generasi yang sama.
2.      Tak Ada Gap Komunikasi
Menurut pria, perbedaan usia yang tak terlampau jauh membuat komunikasi antara dia dan pasangannya akan berjalan lancar. Segala hal dapat didiskusikan bersama dalam satu frame. Begitupun saat menghadapi masalah dalam rumah tangga, dia dan pasangannya dapat berbicara dalam bahasa yang sama sehingga kecil kemungkinan terjadi salah paham.

No comments:

Post a Comment